STATUS
KEWARGANEGARAAN ANAK KETIKA TERJADI PERCERAIAN DIANTARA KEDUA ORANG TUANYA YANG
BERBEDA NEGARA
BAB
I
Pendahuluan
Latar Belakang
Jaman globalisasi adalah jaman yang dimana batasan
ruang dan waktu tidak lagi menjadi penghalang bagi seseorang untuk berhubungan.
Globalisasi yang terjadi telah banyak mempengaruhi serta merubah cara hidup
manusia, yang dahulu untuk berbicara kepada orang yang jauh harus mengirim
surat dan menggunakan waktu yang lama agar sampai kepada penerimanya. Kalau
sekarang sudah berkembang pesat dengan terciptanya alat komunikasi nirkabel
atau tanpa kabel yang mempermudah orang
untuk berhubungan tanpa batasan jarak dan waktu.
Kemungkinan
orang yang berhubungan dengan orang lain dan mereka berasal dari negara yang
berbeda dapat terjalin, hal tersebut juga didukung oleh undang-undang
kewarnegaraan dari setiap negara yang bertujuan untuk membantu ketika ada
pernikahan yang berbeda negara. Hasil dari pernikahan ini pastinya akan
memiliki buah hati atau anak yang akan memiliki kewarganegaraan dimana dia
dilahirkan, undang-undang kewarganegaraan setiap negara berbeda-beda tetapi
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk memperjelas status kewarganegaraannya.
Rumusan Masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan Pernikahan?
2. Apa yang dimaksud dengan Status
Kewarganegaraan?
Tujuan Penulisan
1.
Memahami
arti dari Pernikahan
2.
Mengetahui
landasan hukum dan teori-teori yang mengatur tentang Kewarganegaraan
3.
Mengetahui
status kewarganegaraan anak yang dilahirkan ketika orang tuanya mengalami
perceraiaan
BAB
II
Pembahasan
Pengertian Pernikahan
Menurut
Ahmad Ashar Bashir, Pernikahan
adalah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara
seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua
belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhaan kedua belah pihak untuk
mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang
dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah.
Menurut Mahmud Yunus, Pengertian
Pernikahan atau Perkawinan ialah akad antara calon laki istri untuk
memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat. Dalam hal ini, aqad
adalah ijab dari pihak wali perempuan atau wakilnya dan kabul dari calon suami atau
wakilnya.
Menurut Sulaiman
Rasyid, Pengertian Pernikahan atau
Perkawinan, Pernikahan merupakan
akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban seta
bertolong-tolongan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara
keduanya bukan muhrim.
Menurut Abdullah Sidiq,
Penikahan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan
yang hidup bersama (bersetubuh) dan yang tujuannya membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan, serta mencegah perzinaan dan menjaga ketentraman jiwa
atau batin.
Menurut Soemiyati, Pengertian
Pernikahan ialah perjanjian perikatan antara seseorang laki-laki dan
seorang wanita. Perjanjian dalam hal ini bukan sembarang perjanjian tapi
perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang laki-laki dan seorang
wanita. Suci di sini dilihat dari segi keagamaan dari suatu pernikahan.
Pengertian
Pernikahan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan, Pernikahan
adalah sebuah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga atau rumah tangga
yang bahagia dan kekal yang didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam
Kompilasi Hukum Islam No. 1 Tahun 1991
mengartikan perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
miitsaaqa ghaliidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.
Dari pengertian pernikahan atau
perkawinan yang diungkapkan para pakar diatas tidak terdapat pertentangan satu
sama lain, karena intinya secara sederhana dapat ditarik kesimpulan bahwa
Pengertian Pernikahan atau Perkawinan adalah perjanjian antara calon suami dan
calon isteri untuk membolehkan bergaul sebagai suami isteri guna membentuk
suatu keluarga.
Landasan Hukum dan Teori-teori yang Mengaturnya
Dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, anak
yang lahir dari “perkawinan beda negara” hanya bisa memiliki satu
kewarganegaraan dan ditentukan hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya.
Ketentuan dalam UU Nomor 62 Tahun 1958, dianggap tidak memberikan perlindungan
hukum yang cukup bagi anak yang lahir dari perkawinan berbeda negara dan
diskriminasi hukum terhadap WNI Perempuan. Dalam ketentuan UU kewarganegaraan
ini, anak yang lahir dari perkawinan berbeda negara bisa menjadi warganegara
Indonesia dan bisa menjadi warganegara asing.
Upaya memberikan perlindungan kepada
warga Negara Indonesia yang melakukan pernikahan dengan warga asing serta
menghilangkan diskriminasi bagi WNI perempuan, lahirlah Undang-undang
Kewarganegaraan yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006. Undang –
undang ini memperbolehkan adanya kewarganegaraan ganda bagi anak-anak hasil pernikahan
berbeda negara. Hal ini merupakan ketentuan baru dalam mengatasi
persoalan-persoalan kewarganegaran dari pernikahan berbeda negara.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan
yang baru, anak yang lahir dari perkawinan seorang Perempuan WNI dengan Pria
WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang Pria WNI dengan Perempuan
WNA, diakui sebagai Warga Negara Indonesia.
Kewarganegaraan merupakan salah satu
unsur hakiki yang pada umumnya sangatlah penting dan merupakan unsur pokok bagi
suatu negara yang menimbulkan hubungan timbal balik serta mempunyai kewajiban
memberikan perlindungan terhadap warga negara, terlebih algi dengan anak yang
dilahirkan di Indonesia dari suatu perkawinan campuran antara warga negara
Indonesia dengan warga negara asing. Penentuan sistem kewarganegaraan yang
dianut di dunia pada umum yaitu kewarganegaraan tunggal berdasarkan suatu asas
keturunan (ius sanguinis) atau tempat kelahiran (ius soli). Akan tetapi
adakalanya bagi seseorang anak untuk dapat memiliki kewarganegaraan ganda
(bipatride), hal tersebut disebabkan karena untuk mencegah adanya orang yang
tanpa kewarganegaraan (apatride).
Penentuan Kewarganegaraan yang dianut di Indonesia menurut
Undang-undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yaitu :
Kewarganegaraan ganda terbatas yang
pada pasal 6 dan 21 menjelaskan bahwa anak yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat tinggal di wilayah negara
Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang memperoleh Kewarganegaraan Republik
Indonesia dengan sendirinya berkewarganegaraan Republik Indonesia, setelah
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin maka anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya. Kewarganegaraan ganda
terbatas yang diberikan kepada anak hasil dari suatu perkawinan campuran
dikarenakan apabila terdapat suatu perceraian atau putusnya perkawinan karena
kematian maka anak tersebut masih memiliki status kewarganegaraan, sehingga
orang tuanya tidak perlu lagi memelihara anak asing. Jadi, Undang – undang baru
ini lebih memberikan perlindungan, dan status kewarganegaraan anak yang
dilahirkan dari “ perkawinan campur” juga jadi lebih jelas.
Prinsip yang termaktub dalam UU Kewarganegaraan tersebut
sangat jelas yaitu:
1.
Prinsip persamaan di dalam hukum dan
pemerintahan;
2.
Prinsip perlindungan terbaik bagi
kepentingan anak;
3.
Prinsip kewarganegaraan ganda
terbatas;
4.
Prinsip perlindungan maksimum;
5.
Prinsip non diskriminatif.
Dalam Pasal 4 dan Pasal 5 dari UU Kewarganegaraan,
agar anak memperoleh Kewarganegaraan Indonesia adalah bila salah satu dari
kedua orang tuanya adalah WNI, dan dengan prinsip perlindungan terbaik bagi
kepentingan terbaik anak maka dalam
Bab VII Ketentuan Peralihan Pasal 41
dari UU Kewarganegaraan anak-anak yang telah dilahirkan sebelum UU
Kewarganegaraan disahkan dapat memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui
pendaftaran.
UU Kewarganegaraan No. 12 Tahun 2006 BAB VII Ketentuan
Peralihan Pasal 41:
Anak yang lahir sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I dan anak yang diakui atau
diangkat secara sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sebelum Undang-Undang
ini diundangkan dan belum berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin
memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang ini
dengan mendaftarkan diri kepada Menteri melalui Pejabat atau Perwakilan
Republik Indonesia paling lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
Ketentuan dari Bab VII Ketentuan
Peralihan Pasal 41 dari UU Kewarganegaraan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 (Permen). Persyaratan terhadap permohonan
tersebut diatur dalam Pasal 4 Permen.
Permen No. M.01-HL.03.01 Tahun 2006 Pasal 4 Ayat 2:
Permohonan pendaftaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
1.
Fotokopi kutipan akte kelahiran anak
yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atau Perwakilan Republik Indonesia;
2.
Surat pernyataan dari orang tua atau
wali bahwa anak belum kawin;
3.
Fotokopi kartu tanda penduduk atau
paspor orang tua yang masih berlaku yang disahkan oleh pejabat yang berwenang
atau Perwakilan Republik Indonesia; dan
4.
Pas foto anak terbaru berwarna
ukuran 4x6 sebanyak 6 (enam) lembar.
Seharusnya persyaratan dalam Pasal 4
dari Permen ditujukan bagi orang tua yang berwarganegara Indonesia saja, hal
ini sesuai dengan UU Kewarganegaraan Indonesia berdasarkan Pasal 4 dan Pasal 5
yakni seorang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena salah satu orang
tuanya adalah WNI.
Menurut teori hukum perdata
internasional, untuk menentukan status anak dan hubungan antara anak dan orang
tua, perlu dilihat dahulu perkawinan orang tuanya sebagai persoalan
pendahuluan, apakah perkawinan orang tuanya sah sehingga anak memiliki hubungan
hukum dengan ayahnya, atau perkawinan tersebut tidak sah, sehingga anak
dianggap sebagai anak luar nikah yang hanya memiliki hubungan hukum dengan
ibunya.
Persoalan yang rentan dan sering
timbul dalam perkawinan berbeda negara adalah masalah kewarganegaraan anak. UU
kewarganegaraan yang lama menganut prinsip kewarganegaraan tunggal, sehingga
anak yang lahir dari perkawinan berbeda negara hanya bisa memiliki satu
kewarganegaraan, yang dalam UU tersebut ditentukan bahwa yang harus diikuti adalah
kewarganegaraan ayahnya.
Dengan lahirnya UU Kewarganegaraan
yang baru, sangat menarik untuk dikaji bagaimana pengaruh lahirnya UU ini
terhadap status hukum anak dari perkawinan berbeda negara. Definisi anak dalam
pasal 1 angka 1 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah : “Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan”.
Bila dikaji dari segi hukum perdata
internasional, kewarganegaraan ganda juga memiliki potensi masalah, misalnya
dalam hal penentuan status personal yang didasarkan pada asas nasionalitas,
maka seorang anak berarti akan tunduk pada ketentuan negara nasionalnya. Bila
ketentuan antara hukum negara yang satu dengan yang lain tidak bertentangan
maka tidak ada masalah, namun bagaimana bila ada pertentangan antara hukum
negara yang satu dengan yang lain, lalu pengaturan status personal anak itu
akan mengikuti kaidah negara yang mana. Lalu bagaimana bila ketentuan yang satu
melanggar asas ketertiban umum pada ketentuan negara yang lain.
Dalam menentukan kewarganegaraan
seseorang, dikenal dengan adanya asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan
asas kewaraganegaraan berdasarkan perkawinan. Dalam penentuan kewarganegaraan
didasarkan kepada sisi kelahiran dikenal dua asas yaitu asas ius soli dan ius
sanguinis. Ius artinya hukum atau dalil. Soli berasal dari kata solum yang
artinya negari atau tanah. Sanguinis berasal dari kata sanguis yang artinya
darah.
Contoh Peristiwanya
Disini
saya akan menceritakan apabila kejadian tersebut terjadi kepada saya. Jika saya
menikah dengan wanita yang berasal dari luar negeri saya akan memilih wanita
yang berasal dari negara Jepang, kenapa Jepang? kenapa tidak dengan negara yang
lebih dekat dengan negara dimana saya tinggal, karena saya lebih tertarik
dengan orang asia dan juga karena kebudayaan, teknologi, dan juga dengan
animasi-animasi yang dihasilkan dari negeri sakura.
Menurut
hukum kewarnegaraan Jepang, warga
negara asing diperbolehkan memasuki dan tinggal di Jepang dengan syarat untuk
melakukan kegiatan sesuai dengan status tinggal dan jangka waktu tertentu
seperti yang telah diputuskan oleh pejabat pemeriksa imigrasi pada saat
kedatangan di bandara atau pelabuhan. Disamping itu, apabila penduduk asing
ingin mengubah status kependudukannya setelah tinggal di Jepang atau
memperpanjang masa berlaku untuk tinggal di Jepang atau untuk mendapatkan izin
melakukan kegiatan di luar status yang ia miliki sewaktu mendapatkan status
penduduk terdahulu atau izin masuk kembali dan lain-lain, mereka diwajibkan
menyampaikan permohonan untuk perubahan status di Kantor Imigrasi yang
terdekat.
Kantor Imigrasi setempat akan
mempertimbangkan permohonan tersebut apakah bisa diizinkan atau tidak. Status
kependudukan seseorang dan jangka waktu tinggal di Jepang dibuat untuk menjamin
hak yang bersangkutan sehubungan dengan kehidupan bermasyarakat di Jepang
secara adil, dan juga dalam rangka mengawasi keberadaan mereka di Jepang. Oleh
karena itu keberadaan orang asing dapat bermanfaat bagi orang Jepang maupun
orang asing itu sendiri.
Pada umumnya warga negara asing
diperbolehkan untuk tinggal di Jepang berdasarkan hak alami yang ada dalam
perlindungan hak asasi dan kebebasan yang diwujudkan dan dilindungi oleh
Konstitusi Jepang. Dengan adanya hukum tersebut saya bisa
menetap di jepang dengan atau tanpa mengubah status kewarnegaraannya, bila
ingin mempermudah urusan-urusan seperti menikah dengan orang lokal maka dapat
mengubah status kewarnegaraan yang lama dengan yang baru.
Seseorang
akan memiliki kewarganegaraan Jepang apabila ia : (1) pada saat lahir, salah
satu orangtuanya warga negara Jepang, (2) Ayahnya yang meninggal sebelum yang
bersangkutan lahir adalah warga negara Jepang, (3) Seorang anak lahir di Jepang
dan kedua orangtuanya tidak diketahui, atau orangtuanya tanpa kewarganegaraan.
Kewarganegaraan Jepang didapat melalui pengesahan atau naturalisasi. Sebelum
adanya perubahan terhadap UUK tahun 1984, UUK tahun 1950 menegaskan bahwa jika
bapaknya warga negara Jepang pada saat anak lahir, maka anak tersebut warga
negara Jepang. Namun, hal ini tidak berlaku, apabila ibu si anak warga negara
Jepang sedangkan bapaknya bukan warga negara Jepang. Oleh karena itu jika
seorang laki-laki warga negara Jepang menikah dengan wanita bukan warga negara
Jepang, maka anaknya menjadi warga negara Jepang. Sebaliknya jika Ibu warga
negara Jepang dan bapak bukan warga negara Jepang maka anaknya berhak atas
kewarganegaraan Jepang.
UUK
juga mengatur tata cara naturalisasi sebagai salah satu cara untuk mendapatkan
kewarganegaran Jepang. Naturalisasi harus mendapat izin dari Kementerian
Kehakiman Jepang dan memenuhi persyaratan minimum untuk naturalisasi, yaitu
pemohon harus telah tinggal di Jepang lebih dari lima tahun tanpa terputus,
harus berumur duapuluh tahun atau lebih, dan mempunyai kapasitas hukum yang
diperbolehkan di negara asalnya. Dia harus memperlihatkan ‘karakter dan prilaku
yang baik,’ dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya (termasuk kemungkinan
didukung oleh keahlian atau harta benda isteri atau suami yang tinggal
bersamanya), tidak punya kewarganegaraan, atau kehilangan kewarganegaraannya,
dan tidak pernah berencana atau menghasut untuk menentang Konstitusi dan
Pemerintahan Jepang atau ikut berpartisipasi terhadap organisasi yang terlarang.
Kesimpulannya,
jika menikah dengan orang luar negeri terlebih lagi dengan orang yang berasal
dari negara Jepang, kita bisa mengubah status kewarganegaraan kita demi
mempermudah dalam mendapatkan
perlindungan hak asasi dan kebebasan. Ketika kita memiliki seorang anak dari
hasil pernikahan tersebut maka dia secara resmi berkewarnegaraan Jepang, tetapi
disaat kita mengalami perceraian maka kewarnegaraan dari anak tersebut bisa
berkewarnegaraan Jepang bila dia lebih memilih bersama ibunya dan juga bisa berpindah
kewarnegaraan bila dia memilih bapaknya apabila si bapak dari anak ini mengubah
kewarnegaraannya kembali.
BAB
III
Kesimpulan
jelek
BalasHapus